GKR Bambang Supriyadi berdasarkan informasi yang saya terima adalah sepupu atau saudara misan dari GRA Endang Heniwerdani, GKPA Bambang Hadisuwaryo dan GKR Bambang Hadijokowaluyo. Lahir pada tanggal 08 Juli 1932 dari pasangan orang tua keturunan pakualam dan kepatihan Danuredjo, saya tidak mendapatkan informasi lengkap tentang figur beliau karena perbedaan keturunan dan kekerabatan. Namun begitu, saya cukup mendapatkan informasi mengenai figur beliau dari berbagai sumber termasuk salah satunya dari keratonan Yogyakarta. Yang saya tahu beliau termasuk anak yatim piatu karena di usia 7 tahun sudah ditinggal meninggal kedua orang tuanya.
Sebagai keturunan dari kepatihan Danuredjo beliau banyak menghabiskan masa kecilnya di derah Sumenep dan tinggal di pesantren kakeknya GKR Hadprawiro Dirgo (Kyai Karebet) dan banyak mendapatkan pengajaran agama yang kuat. Ketika berusia 13 tahun beliau diasuh oleh pamannya keluarga KP Haryo Hadipati Danuredjo (Danuredjo VIII). Beliau merupakan kesayangan istri Danuredjo VIII GKR Candrakirono, karena disetiap kesempatan kapanpun hanya beliau yang selalu aktif mendampingi GKR Condrokirono.
Karena sudah dianggap anak oleh keluarga Danuredjo VIII maka melalui perjuangan GKR Candrakirono beliau mendapat anugrah gelar keraton GKR (Gusti Kanjeng Raden) menggantikan gelar beliau sebelumnya yaitu KP (Kanjeng Patih).
PENDIDIKAN :
Dari informasi yang ada beliau menempuh pendidikan pesantren sampai berumur 12 tahun, seiring kepindahan beliau kedalam pengasuhan pamannya beliau melanjutkan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan pendidikan Algeme(e)ne Middelbare School (AMS) lulus pada tahun 1949 dan melanjutkan pendidikan di Akademi Militer Yogyakarta. mengikuti jejak kedua kakak sepupunya yang terlebih dahulu berkarir di kemiliteran, bahkan ke dua kakak sepupunya inilah yang memotivasi beliau untuuk berkarir di militer. Ketika beliau memutuskan untuk melanjutkan studi ke Akmil beliau mendapat tentangan keras dari pihak keluarga Danuredjo VIII yang menginginkan beliau kuliah mengambil kedokteran di Grooningen Belanda. Apalagi pihak keraton dan keluarga besar Danuredjo sudah cukup trauma karena dua putra keluarga mereka berkarir di kemiliteran dan satu orang yaitu GKR Bambang Hadiwaluyo telah gugur di medan perang pada peristiwa Djoko Songo. Pada saat itu dilingkungan keraton ada tradisi bahwa sangat memalukan apabila keluarga keraton berkarir di Kemiliteran, karena ada anggapan karir prajurit militer hanya untuk kaum bawah dan bukan pekerjaan kaum ningrat yang seharusnya mengandalkan kemampuan berpikir, kedudukan doktorandus, Insinyur atau Dokter lebih bermartabat daripada karir di kemiliteran. saking tidak setujunya Danuredjo VIII pernah berkata "Saya tidak akan pernah merestui anak-anak turunan saya jika mengambil karir di Militer".
Namun dengan semangat dan niat yang kuat, beliau tetap melanjutkan pendidikannya di Akademi Militer dan lulus dengan pangkat Letnan Dua pada tahun 1952.
KELUARGA:
Di usia 24 tahun beliau memutuskan untuk menikah dengan gadis asal Semarang yang masih ada darah bangsawan Banten. walaupun begitu pernikahan ini sempat ditentang keras oleh pihak keraton Yogyakarta karena dianggap menyalahi aturan keraton. Melalui perjuangan ibu angkatnya GKR Candrakirono akhirnya pihak keraton merestui pernikahan beliau walau tanpa kehadiran pihak keluarga keraton Jogja dan Pakualam. Dan beliau dianggap bukan lagi bagian dari keraton walaupun masih diperbolehkan menggunakan gelar Keraton.
KONTROVERSI :
Saya tidak banyak mendapatkan informasi setelah beliau lulus ditugaskan dimana dan daerah mana saja ruang lingkup tugas beliau. Ketika beliau memutuskan berkarir dimiliter saya merasakan kalau hubungan antara beliau dan keluarga agak renggang, hanya sesekali beliau menghubungi ibu angkatnya GRA Candrakirono melalui surat. saat ini surat-surat beliau ke ibu angkatnya tersimpat di museum sejarah keraton, dan tidak untuk diperlihatkan umum kecuali keluarga keraton.
Selama berkarir di Militer berdasarkan informasi banyak keputusan kontroversi yang menjadi bagian dari kepemimpinan beliau. Diantaranya pembasmian gerombolah DI/TII tanpa menunggu perintah Presiden dan Panglima TKR waktu itu.
Penjaminan pangkat dan diri beliau ketika membela kakak sepupunya yakni GKPA Bambang Hadisuwarjo yang difitnah sebagai perwira PKI oleh komunitas gerakan anti PKI dan Resimen korps Kujang, bahkan beliau yang waktu itu sudah berpangkat Mayor bersama pasukannya sempat menyandera Dandim (komandan Kodim) Siliwangi Letkol inf Hardiman, meminta kejelasan dan pembersihan nama baik GKPA Bambang Hadisuwarjo yang tersangkut masalah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kontroversi lain yaitu seputar pembersihan sisa-sisa PKI madiun. Beliau tidak melakukan koordinasi langsung dengan Panglima Kodam Diponegoro dalam melakukan pembersihan. Beliau juga menolak perintah langsung pembersihan Gerwani dan FPOOK yang masih bagian dari PKI karena beliau menilai tidak ada hubungannya dengan gerakan 30 September/PKI. Beliau justru meminta pemulihan ideologi dan paradigma agar mereka bisa kembali pada Ideologi pancasila dan bukan pembersihan manusianya.
Menentang perintah Mayjend Soeharto untuk membawa Presiden Soekarno ke Istana Bogor karena menurut alasan Mayjend Soeharto keadaan Ibukota sedang genting pasca Gerakan 30 September PKI. Namun beliau bersama kakak sepupunya GKPA Bambang Hadisuwarjo menentang keras rencana Mayjend Soeharto atas alasan presiden masih ingin tinggal di ibukota. Kontroversi berlanjut dengan pengerahan dan persiapan pasukan Bhayangkara Keraton Yogyakarta dibawah komando GKPA Bambang Hadisuwarjo. Beruntung insiden itu tidak berlanjut dan masing-masing pihak mampu menahan diri.
PAHLAWAN TANPA PENGAKUAN :
Hidup penuh kontroversi, itulah beliau. sayangnya saya hanya memperoleh sedikit informasi mengenai sepak terjang beliau. Sampai akhir hayatnya hanya sedikit cerita mengenai beliau yang berhasil saya kumpulkan. Beliau wafat di usia 36 tahun pada tahun 1968, usia yang masih muda dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel (letkol) inf. Beliau mempunyai satu putri, yang namanya sampai saat ini belum saya peroleh.
Sampai saat ini mengenai wafatnya beliau pun masih kontroversi, ada yang mengatakan beliau tertembak ketika memimpin pembersihan sisa pemberontakan PKI, ada juga yang mengatakan beliau tertembak ketika memimpin pembersihan terhadap sisa pasukan Tjakrabirawa yang menculik 7 Jendral Angkatan Darat. 2 versi ini yang menjadi kontroversi kematian beliau. Tapi yang saya tahu pasca penembakan itu beliau sempat dirawat di Rumah Sakit Angkatan Darat Semarang-Jakarta, sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Djoko Songo.
Niat pemerintah untuk memberikan tanda jasa dan gelar pahlawan pun masih dirasa setengah-setengah. mungkin karena mengingat sepak terjang beliau yang penuh kontroversi dan sering bertentangan dengan kebijakan Organisasi. Maka Pemerintah masih menyimpan niat nya menganugrahkan gelar pahlawan kepada beliau, namun penghargaan berupa kenaikan pangkat kehormatan (Anumerta) diberikan oleh pemerintah RI pada tahun 1975, sehingga pangkat terakhir beliau adalah Kolonel (inf) Anumerta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar